Rasakan Kenangan Kuliner 1980-an di Lontong Pecel Pacitan

  • Bagikan

BeritaIDN, PACITAN – Tak ada yang istimewa dari pandangan pertama. Sebuah warung kecil, berdiri di pinggir Jalan Jalur Lintas Selatan (JLS) Pacitan, Dusun Wetih, Desa Purwosari, Kecamatan Kebonagung. Tembok kayu dan kasibot, lampu secukupnya, serta kursi kayu sederhana menyambut pengunjung yang datang.

Namun, jangan salah. Di balik kesederhanaannya, warung ini menyimpan sejarah kuliner selama 40 tahun, menghidangkan lontong khas Pacitan dengan sambal yang legendaris. Warung ini milik pasangan Tumin (65) dan Sriyatin (60). Bukan sekadar usaha, tapi perjalanan hidup.

“Dulu, saya jualan keliling. Awalnya nggak punya warung, cuma ngeloyor bawa jualan. Baru kemudian bisa buka warung pertama. Yang ini warung kedua kami,” cerita Sriyatin, Senin (2/12/2024).

Warung lontong pecel pertama kali dibuka pada tahun 1984. Waktu itu, harga seporsi lontong pecel hanya Rp25. Kini, harganya naik menjadi Rp7.000, tetapi tetap terjangkau.

“Alhamdulillah, meskipun harganya sudah naik, dagangan saya selalu habis. Apalagi musim hujan seperti sekarang ini, banyak yang cari makanan hangat,” ujarnya dengan senyum bangga.

Baca juga :  Gus Muhaimin Presiden 2024 Dapat Dukungan dari Komunitas Pecinta Gambus Pacitan

Apa yang membuatnya istimewa? Sambalnya. Tidak digiling halus seperti kebanyakan warung lainnya, tetapi ditumbuk kasar. Sriyatin sengaja mempertahankan cara tradisional ini untuk menjaga tekstur dan cita rasa. “Kalau digiling, sambalnya jadi encer. Kalau ditumbuk begini, rasa kacangnya lebih keluar,” tuturnya.

Selain sambal, lontong yang pulen dan gorengan hangat seharga Rp1.000 menjadi pelengkap yang sulit dilupakan.

Pelanggan yang Tak Pernah Sepi

Warung Tumin buka setiap hari dari pukul 17.00 WIB hingga 21.00 WIB. Namun, jangan berharap datang terlalu malam. Antrean panjang sering kali membuat lontong pecel habis sebelum waktunya.

Tak hanya warga sekitar, pelanggan datang dari berbagai kalangan, mulai dari pedagang hingga pegawai kantoran. “Minuman kami cuma air mineral. Ya maklum, saya sudah tua, nggak berani repot-repot jual yang lain,” kata Sriyatin sambil terkekeh.

Baca juga :  Lima Desa di Pacitan Jadi Andalan Atasi Krisis Air

Meski sederhana, warung ini menjadi tempat yang dirindukan. Ada rasa, ada cerita.

40 Tahun, Resep yang Tak Berubah

Sriyatin dan Tumin selalu memastikan bahan-bahan segar setiap harinya. Usia yang tak lagi muda tak menghalangi mereka untuk menjaga kualitas. Sambal tetap diulek dengan tangan, lontong dibuat sendiri, dan semuanya disiapkan dengan penuh perhatian.

“Kalau bukan kami sendiri yang masak, rasanya nggak akan sama,” kata Tumin, yang setia membantu istrinya sejak awal berdagang.

Warung ini membuktikan bahwa kesederhanaan bisa menjadi kekuatan. Lontong pecel Tumin bukan sekadar makanan, tetapi cerita panjang tentang rasa, tradisi, dan ketulusan.

Bagi Anda yang ingin mencicipi cita rasa autentik masa lalu, lontong pecel Pacitan di warung ini adalah jawabannya. Kenangan 1980-an, hadir di setiap gigitan.

 

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *