BeritaIDN, PACITAN – Kamis, 1 Mei 2025, puluhan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pacitan mendatangi Kantor Dinas Perikanan setempat. Aksi damai itu bukan sekadar simbolik peringatan Hari Buruh Nasional, tetapi teriakan keras atas kebisuan pemerintah terhadap nasib nelayan kecil.
Ironi itu mencolok. Laut luas yang mestinya membawa berkah, justru menjelma jerat kemiskinan bagi ribuan nelayan Pacitan. Di tengah gelombang yang mereka hadapi setiap hari, ada gelombang yang lebih membahayakan, yaitu sistem yang tak berpihak dan pasar yang dikendalikan tengkulak.
“Nelayan kita bukan hanya kalah di laut, tapi juga di darat. Mereka dipaksa menjual hasil tangkapan dengan harga murah karena lilitan utang ke tengkulak. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal ketidakadilan yang sistemik,” ujar Ketua PC PMII Pacitan, Al Ahmadi, di hadapan Kepala Dinas Perikanan, Bambang Marhendrawan.
Pacitan, dengan segala potensi lautnya, adalah produsen ikan laut terbesar kedua di Jawa Timur. Namun menurut PMII, tak ada jaminan kesejahteraan bagi mereka yang setiap hari mengarungi samudra. Tak ada cold storage, tak ada unit pengolahan, tak ada jaring pengaman harga. Semua yang ada hanya ketergantungan pada tengkulak dan sistem lelang formalitas.
“Nelayan hanya dijadikan objek, bukan subjek. Di TPI, ikan langsung diangkut pembeli besar tanpa transparansi. Lelang cuma sandiwara,” tegas Al Ahmadi lagi.
Lebih memprihatinkan, PMII mengungkap adanya retribusi liar dalam jual beli benih lobster (benur) yang dikuasai oknum. Bukannya menambah pendapatan daerah, praktik itu justru menambah beban nelayan kecil.
Dalam dokumen resmi yang mereka serahkan ke Dinas Perikanan, PMII merinci tujuh tuntutan konkret. Mulai dari pembangunan cold storage di tiap TPI, reformasi lelang yang akuntabel, hingga pendirian unit pengolahan hasil laut. Mereka juga menuntut regulasi harga dasar ikan dan akses informasi cuaca serta pelatihan teknologi budidaya untuk nelayan muda.
“Yang dilakukan pemerintah selama ini seremonial. Pelatihan tanpa sasaran, program tanpa hasil. Kita butuh kebijakan yang menyentuh akar, bukan pencitraan,” kritiknya tajam.
Kritik PMII itu bukan tanpa dasar. Di lapangan, banyak nelayan Pacitan yang harus menjual ikan segar dengan harga Rp5.000 per kilogram karena tak punya tempat penyimpanan. Jika tak laku, ikan dibuang ke laut. Di sisi lain, pembeli besar bisa menjual ulang dengan harga berkali lipat, karena mereka punya fasilitas dan akses.
Kepala Dinas Perikanan Pacitan, yang menerima langsung dokumen dari PMII, menandatangani sebagai bentuk komitmen awal. Namun PMII menegaskan bahwa mereka tak akan diam.
“Kami akan kawal ini sampai ada perubahan. Kalau perlu, kami turun lagi dengan massa yang lebih besar. Ini bukan tentang kami, ini tentang ribuan nelayan yang terus ditindas sistem,” pungkas Al Ahmadi.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan Pacitan, Bambang Marhendrawan juga tak alergi kritik. Ia menyebut tuntutan PMII sebagai dorongan untuk bekerja lebih baik.
“Terimakasih sahabat-sahabat PMII, kami sampaikan mohon maaf para kepala bidang yang hadir kurang lengkap, karena ini tanggal merah. Tapi kritikan itu cambuk bagi kami untuk memperbaiki kinerja ke depannya,” katanya.
Audiensi ditutup dengan penandatanganan dokumen oleh Ketua PMII Pacitan dan Kepala Dinas Perikanan sebagai bentuk komitmen bersama.
PMII Pacitan akan terus mengawal kebijakan ini hingga pemerintah daerah benar-benar menunjukkan langkah perbaikan. (*)