PAD Perikanan Pacitan Baru Tembus 35 Persen, Moratorium Benur Jadi Biang

  • Bagikan
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perikanan Pacitan, Dewi Andriyani, saat menjelaskan capaian PAD Perikanan, Rabu (12/11/2025). (Foto: Heri/BeritaIDN)

BeritaIDN, PACITAN–Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan Kabupaten Pacitan hingga Oktober 2025 belum menunjukkan hasil menggembirakan. Dari target Rp625,4 juta, realisasi baru mencapai Rp219,39 juta atau sekitar 35,15 persen.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perikanan Pacitan, Dewi Andriyani, membenarkan capaian tersebut masih jauh dari harapan. Dua sumber utama PAD, yakni jasa penghitungan benih bening lobster (BBL) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tamperan, kini tengah menghadapi tantangan berat.

“Dari target PAD jasa penghitungan BBL sebesar Rp125 juta, capaian sampai Oktober baru Rp61,2 juta atau 48,96 persen. Sedangkan dari TPI Tamperan, targetnya Rp400 juta dan baru tercapai Rp101,68 juta atau 26,02 persen,” kata Dewi, Rabu (12/11/2025).

Menurut Dewi, penyebab utama merosotnya PAD berasal dari moratorium atau penghentian sementara penjualan benih bening lobster (BBL) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Langkah itu membuat sumber retribusi daerah dari jasa penghitungan benur ikut terhenti.

“Retribusi kami bersumber dari jasa penghitungan lobster. Setiap ekor dikenai Rp50, tapi karena ada moratorium, otomatis pendapatan ikut turun,” jelasnya.

Baca juga :  Wabup Gagarin Hadiri Perayaan Natal di Pacitan, Beri Apresiasi Toleransi Umat

Dewi menjelaskan, moratorium itu dilakukan karena KKP masih melakukan evaluasi kerja sama pengelolaan benur antara Indonesia dan Vietnam. Dalam perjanjian, Vietnam seharusnya mengirim tenaga ahli untuk transfer teknologi, namun hal itu belum dijalankan.

“Itulah salah satu alasan pemerintah pusat menghentikan sementara kegiatan ekspor dan penjualan benur,” tambahnya.

PNBP Ganggu Retribusi Daerah

Sumber PAD terbesar lain, yakni TPI Tamperan, juga terdampak kebijakan pusat. Dewi mengungkapkan adanya benturan antara retribusi daerah dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang objeknya sama, yaitu ikan hasil tangkapan yang ditimbang di TPI.

“Sejak 2023, pemerintah pusat melalui UPT provinsi menarik PNBP atas ikan yang sama dengan objek retribusi kita. Akibatnya muncul kesan dobel pungutan,” ujarnya.

Kondisi ini membuat posisi daerah lemah. Jika nelayan tidak membayar PNBP, izin berlayar tidak akan dikeluarkan. Sementara untuk retribusi daerah, tidak ada sanksi sekeras itu.

“Kalau PNBP tidak dibayar, nelayan tidak bisa melaut. Tapi kalau retribusi daerah tidak dibayar, kami tidak punya sanksi tegas. Jadi memang daya dorongnya lemah,” imbuh Dewi.

Baca juga :  Pacitan Sambut Hari Jadi ke-280, Bupati Harap Masyarakat Kian Sejahtera

Survei Migas Ganggu Aktivitas Nelayan

Selain masalah regulasi, Dinas Perikanan juga harus menghadapi dampak dari aktivitas survei seismik migas yang dilakukan Pertamina di perairan selatan Pacitan. Survei tersebut memaksa pemotongan puluhan rumpon milik nelayan.

“Sampai saat ini sudah ada 35 rumpon yang terpaksa dipotong karena dilalui kapal Pertamina saat survei. Padahal satu rumpon bisa menghasilkan enam sampai sepuluh ton ikan,” ungkapnya.

Dengan berbagai kendala itu, Dewi mengakui target PAD tahun ini sulit tercapai sepenuhnya. Namun pihaknya tetap berupaya memaksimalkan potensi yang ada hingga akhir tahun.

“Kalau melihat kondisi sekarang, dua bulan ke depan sepertinya target PAD tidak tercapai. Tapi kami tidak pesimis, kami tetap berusaha dan mohon doanya,” ujarnya.

Ia juga memberi semangat kepada para nelayan agar tetap bertahan menghadapi situasi sulit.

“Pacitan punya potensi laut luar biasa, walau risikonya tinggi. Kami juga punya program keselamatan nelayan agar mereka tetap aman dan nyaman saat melaut,” pungkasnya. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *