BeritaIDN, PACITAN – Setiap hari, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan menjadi nadi aktivitas nelayan Pacitan. Deretan kapal keluar-masuk, membawa hasil laut yang menopang ekonomi pesisir. Di balik hiruk-pikuk itu, ratusan kapal nelayan tercatat aktif beroperasi, dengan karakteristik yang masih didominasi kapal-kapal kecil milik nelayan lokal.
Data pengelola pelabuhan menunjukkan, sebagian besar armada yang bersandar di PPP Tamperan merupakan kapal berukuran di bawah 5 gross tonnage (GT). Kapal-kapal ini umumnya digunakan nelayan tradisional Pacitan yang melaut di perairan sekitar.
Penata Kelola Kelautan dan Perikanan UPT PPP Tamperan Pacitan, Abdul Manik, menjelaskan bahwa armada nelayan di Tamperan terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan ukuran kapal.
“Untuk kapal ukuran 1 sampai 5 GT, jumlahnya paling banyak. Sekitar 420 unit, dan itu mayoritas nelayan lokal Pacitan,” ungkapnya.
Selain kapal kecil, terdapat pula kapal berukuran menengah hingga besar yang turut memanfaatkan fasilitas pelabuhan. Kapal dengan ukuran 6 sampai 30 GT tercatat sebanyak 34 unit, sementara kapal di atas 30 GT mencapai 23 unit.
Dari sisi perizinan dan kelayakan berlayar, Abdul Manik mengakui belum seluruh kapal sepenuhnya tertib. Meski begitu, ia menegaskan sebagian besar kapal sudah mengantongi dokumen yang dipersyaratkan.
“Memang belum seratus persen, tapi mayoritas kapal sudah memiliki izin dan dinyatakan layak berlayar,” katanya.
Dalam praktik perikanan tangkap, kapal nelayan juga dikenai berbagai jenis pungutan. Salah satu yang berlaku secara nasional adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diatur oleh pemerintah pusat.
“Kalau bicara pungutan di sektor kapal ikan, jenisnya macam-macam. Yang sekarang berjalan itu PNBP, dan kewenangannya ada di pusat,” jelas Abdul Manik.
Saat ini, pungutan yang diberlakukan di PPP Tamperan hanya terkait dengan izin pusat. Seluruh proses perizinan dilakukan langsung melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Yang dipungut sekarang hanya izin pusat. Jadi kapal mengurus izinnya langsung ke KKP, sekaligus untuk penertiban dokumen,” ujarnya.
Besaran PNBP sendiri ditentukan berdasarkan ukuran kapal dan volume produksi ikan yang didaratkan. Untuk kapal di bawah 30 GT, tarif PNBP ditetapkan sebesar 5 persen dari total produksi yang dibongkar di pelabuhan. Sementara kapal berukuran besar memiliki skema berbeda.
“Kalau kapal di atas 60 GT, tarifnya bisa sampai 10 persen dan pembayarannya langsung ke KKP,” terangnya.
Adapun penerimaan yang masuk ke daerah tidak berasal dari PNBP, melainkan dari retribusi pelabuhan. Retribusi ini dikenakan karena kapal memanfaatkan aset dan fasilitas yang tersedia di pelabuhan.
“Yang masuk ke daerah itu retribusi pelabuhan, karena kapal menggunakan fasilitas seperti dermaga dan layanan pelabuhan,” jelas Abdul Manik.
Jenis retribusi yang dikenakan meliputi berbagai layanan teknis, mulai dari biaya sandar, berlabuh, hingga jasa kebersihan perairan pelabuhan. Seluruhnya menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi.
“Termasuk parkir kapal, tambat labuh, jasa kebersihan air, dan layanan lain yang memang disediakan pelabuhan,” katanya.
Dalam perhitungannya, besaran retribusi pelabuhan disesuaikan dengan sejumlah parameter teknis.
“Hitungannya berdasarkan GT kapal, panjang kapal, serta lama hari berlabuh,” jelasnya.
Meski demikian, nelayan kecil tetap mendapatkan perlindungan kebijakan. Kapal-kapal berukuran kecil dibebaskan dari kewajiban retribusi pelabuhan.
“Untuk nelayan kecil dengan kapal di bawah ukuran tertentu, retribusi pelabuhan tidak diberlakukan. Itu sudah diatur dalam peraturan gubernur,” pungkas Abdul Manik. (*)













