Menilik Prosesi Puncak Festival Lempung Agung Kampung Gerabah Pacitan

  • Bagikan
Tarian Lumpur dalam acara puncak proses festival Lempung Agung di Kampung Gerabah Pacitan, 13 Oktober 2024. (Foto: Al Ahmadi/BeritaIDN)
Tarian Lumpur dalam acara puncak proses festival Lempung Agung di Kampung Gerabah Pacitan, 13 Oktober 2024. (Foto: Al Ahmadi/BeritaIDN)

BeritaIDN, PACITAN-Dusun Purwosari dan Gunung Cilik di Desa Purwoasri, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan kembali menunjukkan kekayaan budayanya melalui Festival “Lempung Agung” yang diselenggarakan pada 12 hingga 13 Oktober 2024.

Acara ini bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga media edukasi bagi generasi muda tentang pentingnya melestarikan tradisi pembuatan gerabah, yang selama ini menjadi identitas dan sumber penghidupan masyarakat setempat.

Festival yang berlangsung selama dua hari ini menyuguhkan prosesi unik, yang salah satu prosesinya menggambarkan tahapan pembuatan gerabah secara tradisional, dimulai dari pengambilan tanah liat (lempung) hingga pembentukan gerabah menjadi produk jadi melaluu arak-arakan.

Prosesi puncaknya, melibatkan ratusan warga dengan pakaian adat Jawa, diiringi gamelan “Luweng Sewu” dan tarian, menghidupkan suasana kearifan lokal yang masih kental di kampung gerabah ini.

Pemukulan kentongan menjadi tanda dimulainya prosesi. Puluhan warga berjalan menuju lokasi pengambilan lempung dengan membawa pikulan tradisional, sambil diiringi lantunan musik gamelan dan tarian-tarian khas.

Di tempat pengambilan tanah, penari menampilkan “Tarian Lumpur,” yang menjadi simbol bahwa pekerjaan sebagai pengrajin gerabah tak terlepas dari kekotoran, namun di situlah letak nilai dan keahliannya.

Baca juga :  Realisasi PBB Pacitan Minus Miliaran Rupiah

Selain itu, terdapat pula ritual serah terima tanah liat kepada Demang dan Nenek Jumilah, sesepuh pengrajin gerabah di desa tersebut.

Setelah tanah liat diterima, para sesepuh menyerahkannya kepada anak cucu, simbolisasi dari pewarisan keterampilan membuat gerabah kepada generasi berikutnya.

Hari Setyo Nugroho, Ketua Penyelenggara Festival Lempung Agung, menyatakan bahwa acara ini memiliki makna yang dalam, bukan hanya sekadar perayaan seni, melainkan juga untuk mengajarkan generasi muda tentang pentingnya melestarikan warisan budaya ini.

“Kami ingin memperkenalkan kepada masyarakat luas bagaimana proses pembuatan gerabah secara tradisional, sekaligus menjadi media pembelajaran bagi generasi muda agar tidak melupakan keterampilan yang telah turun-temurun diwariskan,” kata Hari pada Minggu sore, 13 Oktober 2024.

Sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pengrajin gerabah, Purwoasri menghadapi tantangan regenerasi. Dengan adanya festival ini, masyarakat berharap agar keterampilan ini dapat diwariskan dan dikembangkan lebih jauh, terutama di tengah perkembangan industri modern.

Baca juga :  Komoditas Cengkeh di Pacitan Minim, Diperlukan Peremajaan untuk Tingkatkan Produksi

Tidak hanya itu, Hari juga berharap festival ini dapat mendukung ekonomi lokal melalui pengembangan UMKM gerabah dan memperluas pasar hingga ke luar daerah.

“Semoga festival ini dapat menjadi daya tarik yang lebih luas, sehingga gerabah Pacitan bisa semakin dikenal dan memberi dampak ekonomi bagi masyarakat pengrajin,” tambahnya.

Sepanjang jalan utama desa, sepanjang 500 meter, beragam gerabah dipajang, memperkuat suasana tradisional kampung yang dikenal sebagai pusat kerajinan gerabah.

Tak hanya itu, berbagai kegiatan lain seperti lomba kreasi sambal nusantara yang menggunakan cobek dan ulekan buatan warga setempat juga turut memeriahkan festival ini.

Festival Lempung Agung kali ini merupakan yang kedua, setelah sebelumnya digelar dengan nama “Festival Gerabah Kundi Merdeka.” Dengan cakupan yang lebih luas, festival ini diharapkan bisa terus berlanjut sebagai wujud apresiasi terhadap seni dan budaya lokal.

Penulis: Al AhmadiEditor: Yusuf Arifai
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *