BeritaIDN, PACITAN – Bulan Ramadan petasan pun bertebaran. Ledakan satu-dua sudah jadi langganan. Namun, ada satu ledakan yang luar biasa. Sebuah toko di Pacitan rusak akibat petasan.
Orang-orang geger, para pejabat terperanjat. Lalu, seperti biasa, aturan ditebar, janji diumbar. Satpol-PP bersumpah akan patroli, akan menertibkan, akan mengendalikan.
Tapi, janji memang lebih gampang daripada bukti. Di Alun-Alun Pacitan, pedagang kembang api masih bebas berjualan. Tak ada razia, tak ada teguran.
Mereka bahkan tersenyum lebar saat ditanya, seolah dunia ini damai-damai saja.
Sebenarnya, larangan petasan sudah tertuang dalam Surat Edaran Bupati Pacitan. Surat ini, yang ditandatangani Sekda Heru Wiwoho, menegaskan bahwa segala macam ledakan—mercon, long karbit, petasan bumbung—dilarang. Satpol-PP diberi mandat untuk menyisir dan memantau.

Tapi, mari kita turun ke lapangan. Bejo, seorang pedagang kembang api di Alun-Alun Pacitan, menggelar dagangannya seperti biasa. Ia tidak khawatir.
“Saya jualan mercon tiap tahun, mulai awal puasa. Aman, yang penting bukan mercon tanpa izin. Satpol-PP tidak ada tindakan, aman,” katanya sambil menata barang dagangannya, Kamis (6/3/2025) kemarin.
Harga kembang api yang dijual Bejo bervariasi, mulai Rp2.000 hingga Rp45.000. Yang paling dahsyat suaranya adalah Romand, merek kembang api yang bisa bikin jantung copot.
“Buka di sini cuma bayar karcis kebersihan, Rp2.000 per malam ke DLH. Pembeli dari anak kecil sampai orang tua, semua senang,” ujarnya enteng.
Antok, pedagang lain yang sudah berjualan sejak 2004, juga tidak merasa risau. Barang dagangannya berasal dari Ponorogo, dan selama ini tak ada kendala.
“Yang paling besar itu Romand, delapan kali shoot, harganya Rp40.000. Pembeli saya dari anak PAUD sampai orang dewasa,” katanya.
Apakah Satpol-PP pernah datang menindak? Antok hanya tertawa.
“Jualan di sini aman, tidak ditindak. Saya cuma bayar retribusi Rp2.000-an ke DLH, lewat Mas Upik,” jelasnya santai.
Satpol-PP: Kami Sudah Patroli, Tapi…
Ketika dimintai tanggapan, Priyadi, Kepala Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) Satpol-PP Pacitan, buru-buru menjelaskan bahwa mereka sebenarnya sudah melakukan patroli.
“Kami sudah menyisir, mungkin ada yang kelewat atau belum nyasar semua. Nanti malam kami fokuskan di alun-alun,” katanya, Jumat (7/3/2025).
Namun, ada hal menarik yang ia tambahkan. Ternyata, menindak petasan bukan tugas Satpol-PP, melainkan kepolisian.
“Kalau penindakan nanti ke kepolisian. Kalau kami tugasnya menyisir, survei, dan monitor. Itu kami agendakan di sepanjang Jalan P. Sudirman dan A. Yani, rencananya setiap minggu,” jelasnya.
Jadi, begitulah. Satpol-PP memang berpatroli, tapi tidak menindak. Mereka menyisir, tapi tidak menyapu. Hanya mencatat dan mengamati.
Priyadi juga mengatakan bahwa pihaknya sudah menyebarkan edaran dari Sekda kepada para pedagang.
“Kemarin kami sampaikan edaran terkait cipta kondisi Ramadan. Ini edarannya untuk umum, termasuk pedagang petasan, kuliner, dan lainnya,” katanya lagi.
Di akhir wawancara, Priyadi memberikan pesan kepada pedagang petasan.
“Silakan mencari rezeki, tapi harus menaati imbauan dan aturan dari aparat,” tutupnya.
Jadi, inilah potret klasik kita: aturan ada, tapi pelaksanaannya longgar. Surat edaran sudah diteken, tapi di lapangan pedagang masih bebas berjualan. Satpol-PP Pacitan sudah berpatroli, tapi tak ada tindakan nyata.
Maka, jangan heran jika petasan di Pacitan terus meledak, masyarakat tetap gelisah, dan para pejabat terus mencari alasan. Hukum ada, tapi tak bertaring. Yang ada hanya suara ledakan di malam hari, mengiringi bulan suci Ramadan.