BeritaIDN, PACITAN-Camat Kebonagung Udin Wahyudi mendorong tradisi Rawat Jagat di Pantai Pangasan menjadi ikon wisata budaya Pacitan. Tradisi ini memadukan doa keselamatan alam, seni tradisi seperti Tari Keling, dan penguatan identitas budaya pesisir untuk menarik wisatawan.
Menurut Udin, pemilihan Pantai Pangasan sebagai lokasi acara tak lepas dari arahan Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji, yang mendorong agar kegiatan adat tetap selaras dengan identitas budaya lokal.
“Kenapa Rawat Jagat ini dilakukan di kawasan Pantai Pangasan? Pak Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji menyarankan agar masih ada kaitannya dengan Ekspedisi Merah Putih (EMP). Akhirnya kan menyatakan kepada komunitas Kangen Pacitan agar diselenggarakan di Pantai Pangasan,” ujarnya.
Udin berharap pelaksanaan tradisi ini mampu memperkuat citra Pangasan sebagai destinasi wisata berwawasan budaya. Ia juga menegaskan pentingnya dukungan semua pihak untuk memperkuat potensi lokal.
“Kami banyak berterima kasih, biar wisatanya semakin maju,” ucapnya. Ia menyoroti keberadaan Tari Keling, seni tradisi pesisir yang sudah berlangsung sejak 1970 di Kalipelus. “Terutama Tari Keling, di sini sudah berlangsung sejak 1970. Sejarah dan filosofinya ada,” katanya.
Bagi Udin, Rawat Jagat bukan sekadar kegiatan seremonial, tapi tonggak pelestarian nilai budaya sekaligus pengembangan ekonomi kreatif berbasis masyarakat. “Selain mengangkat wisata, juga mengangkat potensi budaya. Harapannya terus maju, semakin terkenal dan mendunia,” jelasnya.
Kalipelus Tampilkan Jejak Sejarah Tari Keling
Kepala Desa Kalipelus, Dasuki, menuturkan bahwa Rawat Jagat kali ini menjadi momentum penting bagi masyarakat setempat. Sebab, kegiatan tingkat kabupaten ini baru pertama kali digelar di Pantai Pangasan.
“Agar Pangasan lebih berkembang dan maju mendunia,” ujarnya.
Dasuki juga menuturkan bahwa Tari Keling yang tampil dalam acara itu merupakan warisan masyarakat Dusun Batulapak, salah satu wilayah di ujung Desa Kalipelus. Menurutnya, Tari Keling awalnya merupakan ekspresi budaya rakyat.
“Tari Keling itu asalnya dari Dusun Batulapak, ujung Desa Kalipelus. Dulu awalnya hanya geculan orang-orang tua, penarinya laki-laki. Ada gamelan hanya saja gerakannya belum dipaksakan,” katanya.
Tradisi ini kemudian terus berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan desa. “Pada saat 17an Agustus dulu itu pawai memakai kostum hitam (Keling) pakai arang/angus. Bentuk suko pari suko dari masyarakat,” lanjut Dasuki.
Legenda Ikan Angas dan Identitas Pantai Pangasan
Selain budaya, cerita rakyat juga ikut mewarnai kekayaan Pangasan. Dasuki mengungkap asal-usul nama Pantai Pangasan yang disebut berkaitan dengan keberadaan ikan Angas, spesies yang diyakini hanya ditemukan di perairan tersebut.
“Kalau Pantai Pangasan awalnya dari nama ikan Angas yang ada hanya di sini. Sekarang masih ada. Dirinya mulutnya ada cucuk runcing. Kalau orang tidak bisa memasak akan terasa amis. Namun kalau sudah bisa memasak terasa lezat,” jelasnya.
Ikan Angas menjadi salah satu identitas kuliner tradisional warga pesisir. “Ikan Angas banyak orang desa sebelah, desa Klesem yang ambil. Orang sini juga banyak,” tuturnya.
Pemkab Pacitan Dorong Akulturasi Budaya dan Wisata Pesisir
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Pacitan, Munirul Ichwan, menegaskan bahwa Rawat Jagat merupakan program strategis dalam membangkitkan budaya sekaligus pariwisata lokal.
“Acara Rawat Jagat merupakan satu rangkaian yang secara kabupaten sudah kali keempatnya dilaksanakan,” jelasnya.
Munirul menerangkan, program ini bertujuan memperkuat akulturasi budaya Pacitan agar mampu dikenali hingga tingkat internasional. “Dalam rangka bagaimana mengakulturasi budaya yang ada di Pacitan untuk bisa mengangkat potensi wisata, tidak hanya nasional tapi level internasional,” katanya.
Ia berharap program ini konsisten digelar dan semakin melibatkan desa-desa lain. “Harapan ini terus berkembang, terus konsisten bisa bekerja sama dengan desa-desa untuk bisa menumbuhkembangkan budaya yang sudah ada,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan nilai spiritual dalam tradisi Rawat Jagat. “Ke depannya tentu Rawat Jagat ini merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah menganugerahi kita alam yang sedemikian rupawan di Kabupaten Pacitan,” kata Munirul.
Acara ditutup dengan doa, kembul bujono, dan rangkaian seni pesisir seperti tayuban, musik rontek, bela diri, dan penampilan Tari Keling. Suasana tradisi penuh simbol keselarasan antara manusia dan alam menghiasi pelaksanaan ritual tersebut.
Makna Ritual Rawat Jagat
Rawat Jagat tahun ini mengusung tema “Sluman Slumun Slamet”, berlangsung Minggu (2/11/2025) mulai pukul 14.00 WIB. Rangkaian ritual dimulai dengan doa bersama di tepi pantai, arak tumpeng, hingga prosesi umbul donga sebagai simbol penghormatan dan permohonan keselamatan bagi alam serta warga.
Warga juga menggelar murak tumpeng dan tradisi tempelan, mempertegas nilai gotong royong dan rasa syukur. Tidak hanya ritual, kesenian lokal seperti tayuban dan bela diri turut meramaikan acara.
Program Rawat Jagat masuk dalam kalender budaya resmi bertajuk Kangen Pacitan – Rawat Jagat, sekaligus menjadi panggung bagi masyarakat untuk menunjukkan eksotisme pesisir dan kekayaan budaya lokal.
Pacitan, Dari Pesisir Sunyi Menuju Destinasi Budaya Dunia
Tradisi Rawat Jagat di Pantai Pangasan semakin memperkuat posisi Pacitan sebagai kabupaten yang mengandalkan potensi alam sekaligus budaya sebagai magnet wisata. Dengan panorama tebing megah, tradisi pesisir yang sarat makna, dan dukungan pemerintah, Pangasan mulai menapaki panggung pariwisata lebih luas.
Bagi masyarakat Kalipelus dan Kebonagung, ritual ini bukan sekadar kegiatan budaya, melainkan bentuk penghormatan alam, pelestarian identitas, dan langkah nyata memperkenalkan Pacitan ke dunia.
Seperti disampaikan Camat Kebonagung, harapannya terus maju, semakin terkenal dan mendunia. (*)













