BeritaIDN, PACITAN – Peninggalan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak hanya dapat dijumpai di Yogyakarta sebagai pusat operasi pemulihan eksistensi Republik Indonesia kala itu.
Di Pacitan, Jawa Timur, jejak perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman juga meninggalkan saksi sejarah berupa Monumen Jenderal Sudirman di Dusun Sobo, Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan.
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan langkah strategis militer Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih berdiri di tengah agresi Belanda.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Sudirman, serangan besar-besaran itu berhasil merebut Yogyakarta selama beberapa jam dan menghidupkan kembali semangat perjuangan.
Selain monumen utama yang berada di titik 0 Kilometer Malioboro, berbagai monumen lain dibangun di daerah rute gerilya.
Salah satunya berada di Pacitan, sekitar 140 kilometer dari Yogyakarta atau empat jam perjalanan.
Jenderal Sudirman pernah bermarkas di Pakis Baru sejak 1 April 1949 hingga 7 Juli 1949, menjadikan wilayah ini penting dalam perjalanan gerilya melawan Belanda.
Akses menuju monumen dapat ditempuh melalui jalur utama Wonogiri–Ponorogo. Setibanya di Kecamatan Purwantoro, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan menuju jalur alternatif Pacitan.
Penanda arah menuju lokasi tersedia di beberapa titik.
Meskipun aplikasi navigasi menunjukkan jalur lebih cepat, rute utama lebih direkomendasikan karena jalan alternatif cenderung sempit serta menanjak.
Setiba di area monumen, pengunjung disambut patung Jenderal Sudirman setinggi sekitar delapan meter.
Untuk mencapainya, terdapat tiga bagian anak tangga dengan jumlah 45, 8, dan 17 yang bila digabungkan menjadi 17-8-45 sebagai simbol hari kemerdekaan Indonesia.
Di sekitar patung, hamparan lapangan luas dikelilingi bangunan persegi yang menampilkan 38 relief berbahan tembaga.
Relief-relief tersebut menuturkan perjalanan hidup Jenderal Sudirman, mulai masa kecil, aktivitas mengaji, keterlibatan dalam kepanduan, kiprah di PETA, hingga perjuangan gerilya dan wafatnya di Magelang.
Pada sore hari, kawasan monumen kerap menjadi ruang publik warga sekitar untuk menikmati suasana sejuk perbukitan.
Semilir angin dan panorama pegunungan menjadikan tempat ini tidak hanya sebagai situs sejarah, tetapi juga ruang rekreasi yang tenang.(*)













